Analisis
Kasus Konversi Lahan Pesisir
di
Sumatera Utara
A. IDENTIFIKASI DATA
Hutan
mangrove adalah hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai
dan dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang
terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai dimana
air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Ekosistem hutan bakau bersifat khas,
baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah, salinitas
tanahnya yang tinggi,
serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit
jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini
kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi
dan evolusi.
Hutan-hutan bakau menyebar luas di
bagian yang cukup panas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa
di wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Luas hutan bakau Indonesia
antara 2,5 hingga 4,5 juta hektar, merupakan mangrove yang terluas di dunia. Melebihi
Brazil (1,3 juta ha), Nigeria (1,1 juta ha) dan Australia (0,97 ha) (Spalding
dkk, 1997 dalam Noor dkk, 1999).
Di Indonesia, hutan-hutan mangrove
yang luas terdapat di seputar Dangkalan Sunda yang
relatif tenang dan merupakan tempat bermuara sungai-sungai besar. Yakni di
pantai timur Sumatra,
dan pantai barat serta selatan Kalimantan. Di pantai utara Jawa, hutan-hutan ini
telah lama terkikis oleh kebutuhan penduduknya terhadap lahan.
Di bagian timur Indonesia, di tepi Dangkalan Sahul,
hutan-hutan mangrove yang masih baik terdapat di pantai barat daya Papua, terutama di sekitar
Teluk Bintuni.
Mangrove di Papua mencapai luas 1,3 juta ha, sekitar sepertiga dari luas hutan
bakau Indonesia.
a.
FISIK
Jenis-jenis tumbuhan hutan bakau ini
bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga
memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan fisik tersebut
adalah:
Jenis tanah
Sebagai wilayah pengendapan,
substrat di pesisir bisa sangat berbeda. Yang paling umum adalah hutan bakau
tumbuh di atas lumpur tanah liat bercampur dengan bahan organik. Akan
tetapi di beberapa tempat, bahan organik ini sedemikian banyak proporsinya;
bahkan ada pula hutan bakau yang tumbuh di atas tanah bergambut.
Terpaan ombak
Bagian luar atau bagian depan hutan
bakau yang berhadapan dengan laut terbuka sering harus mengalami terpaan ombak
yang keras dan aliran air yang kuat. Tidak seperti bagian dalamnya yang lebih
tenang.
Yang agak serupa adalah bagian-bagian
hutan yang berhadapan langsung dengan aliran air sungai, yakni yang terletak di
tepi sungai. Perbedaannya, salinitas di bagian ini tidak begitu tinggi,
terutama di bagian-bagian yang agak jauh dari muara. Hutan bakau juga merupakan
salah satu perisai alam yang menahan laju ombak besar.
Penggenangan oleh air pasang
Bagian luar juga mengalami genangan
air pasang yang paling lama dibandingkan bagian yang lainnya, bahkan kadang-kadang
terus menerus terendam. Pada pihak lain, bagian-bagian di pedalaman hutan
mungkin hanya terendam air laut manakala terjadi pasang tertinggi sekali dua
kali dalam sebulan.
Menghadapi variasi-variasi kondisi
lingkungan seperti ini, secara alami terbentuk zonasi vegetasi mangrove, yang biasanya
berlapis-lapis mulai dari bagian terluar yang terpapar gelombang laut, hingga
ke pedalaman yang relatif kering.
Jenis-jenis bakau (Rhizophora spp.)
biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur ombak. Bakau Rhizophora
apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah lumpur. Sedangkan bakau R.
stylosa dan perepat
(Sonneratia alba) tumbuh di atas pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih
tenang hidup api-api hitam (Avicennia alba) di zona terluar atau zona pionir
ini.
Di bagian lebih ke dalam, yang masih
tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau R. mucronata dengan
jenis-jenis kendeka
(Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras
corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar
airnya, biasa ditemui nipah
(Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro
(Cerbera spp.).
Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan
nirih
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera
racemosa), dungun (Heritiera littoralis) dan kayu
buta-buta (Excoecaria agallocha).
1. Daya Adaptasi Mangrove Terhadap
Lingkungan
Jenis-jenis tumbuhan Mangrove ini
bereaksi berbeda terhadap variasi-variasi lingkungan fisik di atas, sehingga
memunculkan zona-zona vegetasi tertentu. Beberapa faktor lingkungan tersebut
adalah:
1. Fisiografi
pantai (topografi) 5.
Salinitas
2.
Pasang (lama, durasi, rentang) 6.
Oksigen terlarut
3.
Gelombang dan arus 7.
Tanah
4.
Iklim (cahaya,curah hujan, suhu, angin) 8.
Hara
2. Definisi Dan Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu
sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan diantara makhluk
hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air
laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh
dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Dalam suatu paparan mangrove di
suatu daerah tidak harus terdapat semua jenis spesies mangrove (Hutching and
Saenger, 1987 dalam Idawaty, 1999). Formasi hutan mangrove dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti kekeringan, energi gelombang, kondisi pasang surut,
sedimentasi, mineralogi, efek neotektonik (Jenning and Bird, 1967 dalam
Idawaty, 1999). Sedangkan IUCN (1993), menyebutkan bahwa komposisi spesies dan
karakteristik hutan mangrove tergantung pada faktor-faktor cuaca, bentuk lahan
pesisir, jarak antar pasang surut air laut, ketersediaan air tawar, dan tipe
tanah.
3. Arti
Penting Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove merupakan penghasil
detritus, sumber nutrien dan bahan organik yang dibawa ke ekosistem padang
lamun oleh arus laut. Sedangkan ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil
bahan organik dan nutrien yang akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain
itu, ekosistem lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap)
sehingga sedimen tersebut tidak mengganggu kehidupan terumbu karang.
Selanjutnya ekosistem terumbu karang dapat berfungsi sebagai pelindung pantai
dari hempasan ombak (gelombang) dan arus laut. Ekosistem mangrove juga berperan
sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat
asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi
organisme yang hidup di padang lamun ataupun terumbu karang.
4. Pemahaman
Kondisi Wilayah
Beberapa hal yang dapat dilakukan
dalam membangun kesadaran masyarakat antara lain: diskusi bersama masyarakat
untuk memahami kondisi pantai saat ini dan dulu, mengiden-tifikasi dan
menyadari bersama dampak hilang/rusaknya mangrove, menentukan dan menyepakati
bersama solusi mengatasi masalah akibat hilang/rusaknya
mangrove, studi banding untuk meyakini dan memperluas wawasan tentang manfaat
mangrove, perencanaan dan pelaksanaan bersama penanaman mangrove, dan
pembentukan kelompok masyarakat pengelola dan pelestari mangrove.
Je n i s - jenis M a n g r o v e :
1. Aegiceras
corniculantum 12. Rhizopora apiculata 23.
Ceriops decandra
2.
Rhizopora lamarckii 13. Pemphis acidula 24. Sonneratia alba
3. Avicennia officinalis 14. Xylocarpus moluccensis 25. Lumnitzera racemosa
4. Aegiceras floridum 15. Rhizopora stylosa 26. Rhizopora mucronata
5. Heritirea littoralis 16. Lumnitzera racemosa 27. Bruguiera parviflora
6. Bruguiera gymnorrhiza 17. Xylocarpus rumphii 28. Excoecaria agallocha
7. Bruguiera cylindrica 18. Avicennia officinalis 29. Xylocarpus granatum
8. Avi cen ni a al ba 19. Ceriops tagal 30. Nypa fruticans
9. Avicennia marina 20. lLumnitzera littorea 31. Osbornia octodona
3. Avicennia officinalis 14. Xylocarpus moluccensis 25. Lumnitzera racemosa
4. Aegiceras floridum 15. Rhizopora stylosa 26. Rhizopora mucronata
5. Heritirea littoralis 16. Lumnitzera racemosa 27. Bruguiera parviflora
6. Bruguiera gymnorrhiza 17. Xylocarpus rumphii 28. Excoecaria agallocha
7. Bruguiera cylindrica 18. Avicennia officinalis 29. Xylocarpus granatum
8. Avi cen ni a al ba 19. Ceriops tagal 30. Nypa fruticans
9. Avicennia marina 20. lLumnitzera littorea 31. Osbornia octodona
10. Avicennia lanata 21. Bruguiera sexangula
11. Bruguiera cylindrica 22. Sonneratia caseolaris
11. Bruguiera cylindrica 22. Sonneratia caseolaris
Interaksi Mangrove
Lahan hutan mangrove yang terbentang di pesisir sumatera utara memiliki luas hampir 1000 hektar. Dan luas hutan bakaunya mencapai 287.585 hektar yang
berada disepanjang hilir Pantai Timur. Luas kawasannya mulai dari Tanjung Balai Asahan,
Serdang Bedagai, Batubara, Percut Deli Serdang,
hingga kawasan hutan mangrove di Kabupaten Langkat. Gugusan
hutan mangrove terbesar di pulau Sumatera.
Dengan luas lahan yang ada, lahan mangrove ini kemudian dimanfaatkan
oleh masyarakat sekitar untuk menjalankan roda perekonomiannya. Masyarakat
setempat dapat mengambil kayu, dedaunan dari pohon mangrove dan biota perairan
yang hidup di wilayah perairan mangrove untuk mencukupi kebutuhannya. Hutan
mangrove ini juga mampu memberikan banyak manfaat bagi stabilitas lingkungan
sekitar yang dapat ditinjau dari sisi ekologisnya sebagai penghalang erosi
garis pantai, angin ribut dan gelombang laut. Selain menguntungkan dari segi
ekonomi dan ekologi, hutan mangrove juga berperan sebagai tempat berkembang
biak (nursery ground), pemijahan (spawning ground), dan mencari makan (feeding
ground) bagi biota perairan dan hewan darat mangrove.
1. Permasalahan
Hal-hal
utama yang menjadi permasalahan dan penyebabnya antara lain :
1)
Data
dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara hampir 90 persen
kawasan hutan mangrove di pantai Timur Sumatera Utara mengalami
kerusakan karena perubahan lahan perkebunan sawit dan tambak perikanan oleh masyarakat yang tidak memiliki prosedur dan izin dari pemerintah. Salah satu faktor terbesar ini terjadi adalah tingginya kebutuhan ekonomi dan kurangnya kesadaran kepentingan ekologis serta kepedulian masyarakat akan dampak lingkungan. Dan tanpa disadari telah merusak ekosistem kawasan mangrove pantai Timur Sumatera Utara.
kawasan hutan mangrove di pantai Timur Sumatera Utara mengalami
kerusakan karena perubahan lahan perkebunan sawit dan tambak perikanan oleh masyarakat yang tidak memiliki prosedur dan izin dari pemerintah. Salah satu faktor terbesar ini terjadi adalah tingginya kebutuhan ekonomi dan kurangnya kesadaran kepentingan ekologis serta kepedulian masyarakat akan dampak lingkungan. Dan tanpa disadari telah merusak ekosistem kawasan mangrove pantai Timur Sumatera Utara.
2)
Perencanaan
dan pengelolaan sumber daya pesisir di masa lalu bersifat sangat sektoral. Dari
sini kita mengetahui bahwa pengelolaan yang sektoral ini akan mengakibatkan
terjadinya perusakan hutan mangrove berat yang akan berdampak pada masa yang
akan datang. Kemudian rendahnya kesadaran masyarakat tentang konversi dan
fungsi ekosistem mangrove.
3)
Hutan rawa dalam lingkungan yang asin dan anaerob
di daerah pesisir selalu dianggap daerah yang yang marginal atau sama sekali
tidak cocok untuk pertanian dan akuakultur. Namun karena kebutuhan lahan
pertanian dan perikanan yang semakin meningkat maka hutan mangrove dianggap
sebagai lahan alternative. Reklamasi seperti itu telah memusnakan ekosistem
mangrove dan juga mengakibatkan efek – efek yang negatif teradap perikanan di
perairan pantai sekitarnya. Selain itu kehadiran saluran-saluran drainase
mengubah sistem hidrologi air tawar di daerah mangrove yang masih utuh yang
terletak kearah laut dan hal ini mengakibatkan dampak negative.
2. Pembahasan
Dalam ekosistem mangrove terjadi rantai makanan/aliran energy dan
siklus biogeokimia. Aliran energi sangat berpengaruh dalam rantai makanan
mangrove. Siklus energi berperan dalam proses fotosintesis ke tanaman mangrove
dan fitoplankton. Selanjutnya siklus energi ini secara berantai menjadikan
suatu proses makan memakan pada rantai makanan. Rantai makanan pada mangrove
dimulai dari tumbuhan hijau sebagai sumber energi utama (produsen) bagi
ekosistem mangrove. Selanjutnya rantai makanan dilanjutkan oleh bakteri dan
fungi yang secara langsung menguraikan senyawa organik (detritus) yang berasal
dari penghancuran luruhan daun dan ranting mangrove yang jatuh ke substrat padat
(tanah) dan substrat perairan pada ekosistem mangrove, maka dapat dikatakan
organisme ini sebagai produsen utama dan ditempatkan pada tingkatan trofik
kedua di dalam jaring makanan. Pada mangrove, rantai makanan pada substrat
padat dan substrat perairan sangatlah berhubungan.
Perkebunan kelapa sawit dan tambak dalam skala kecil tidak terlalu
banyak mempengaruhi ekosistem mangrove, tapi lain halnya dengan skala besar.
Konversi mangrove yang luas menjadi kelapa sawit dan tambak dapat mengakibatkan
penurunan produksi perikanan di perairan sekitarnya. Lahan mangrove yang
dirubah menjadi perkebunan ini juga dapat memengaruhi produktivitas perairan
estuary dan laut di sekitarnya. Seperti contoh menurunnya produksi udang laut
sebagai akibat menciutnya luas hutan mangrove. ( Saparinto, Cahyo. 2007)
Kasus 1
Alasan konversi lahan mangrove menjadi perkebunan sawit
Alasan konversi lahan mangrove menjadi perkebunan sawit
Hal yang menyebabkan terjadinya konversi lahan mangrove sebesar 1000
hektar menjadi tambak dan
perkebunan kelapa sawit adalah
karena hutan mangrove yang mengalami penurunan produktivitas akibat pemanfaatan
atau pengeksploitasian ekosistem mangrove secara besar-besaran oleh masyarakat
pesisir tanpa diikuti proses rehabilitasi kembali ekosistem mangrove tersebut.
Alasan ini diperkuat oleh faktor ekonomi masyarakat pesisir Indonesia yang
masih berada digaris kemiskinan. Dahulu masyarakat pesisir di wilayah Deli
Serdang, Sumatera Utara bisa dengan mudah mendapatkan komoditas yang dapat
dimanfaatkan untuk memenuhi kehidupan sehari-sehari maupun untuk diperdagangkan
dari hutan mangrove ini, tetapi seiring dengan berjalannya waktu, potensial
produktivitas mangrove mengalami penurunan sehingga masyarakat pesisir Sumatera
Utara memilih alternatif pengalihan fungsi lahan mangrove menjadi pertambakan dan perkebunan sawit. Pengalihan fungsi lahan berdampak langsung kepada perubahan rantai
makanan ekosistem mangrove menjadi rantai makanan ekosistem lahan yang baru.
Dampak
Dampak ekologis secara
umum akibat berkurang dan rusaknya ekosistem mangrove adalah hilangnya berbagai
spesies flora dan fauna yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove, yang dalam
jangka panjang akan mengganggu keseimbangan ekosistem mangrove khususnya dan
ekosistem pesisir umumnya. Selain itu, menurunnya kualitas dan kuantitas hutan
mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkhawatirkan, seperti abrasi
yang selalu meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut
yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya.
Pada ekosistem mangrove, rantai
makanan yang terjadi adalah
rantai makanan detritus. Sumber utama detritus adalah hasil penguraian
guguran daun mangrove yang jatuh ke perairan oleh bakteri dan fungi
(Romimohtarto dan Juwana 1999).
Rantai makanan detritus
dimulai dari proses penghancuran luruhan dan ranting mangrove oleh
bakteri dan fungi (detritivor) menghasilkan detritus. Hancuran bahan
organic (detritus) ini kemudian menjadi bahan makanan penting (nutrien)
bagi cacing, crustacea, moluska, dan hewan lainnya (Nontji, 1993).
Setyawan dkk (2002) menyatakan nutrient di dalam ekosistem mangrove
dapat juga berasal dari luar ekosistem, dari sungai atau laut. Lalu
ditambahkan oleh Romimohtarto dan Juwana (1999) yang menyatakan bahwa bakteri
dan fungi tadi dimakan oleh sebagian protozoa dan avertebrata.
Kemudian protozoa dan avertebrata dimakan oleh karnivor sedang, yang
selanjutnya dimakan oleh karnivor tingkat tinggi. Karena dengan adanya lahan
hutan mangrove yang dikonversi ini fauna-fauna baik itu pemangsa maupun yang
dimangsa akan berpindah ke lahan yang belum mengalami kerusakan. Contohnya saja
spesies monyet dan bangau mungkin tidak akan ada lagi karena spesies ikan yang
ada akan berkurang dan habitat mereka telah rusak. Pengaruh bahan-bahan kimia
dari pupuk pertanian juga. Secara tidak langsung akan mengubah siklus
biogeokimianya karena unsur-unsur yang ada akan berubah dan berkurang.
Ternyata dengan adanya lahan
perkebunan kelapa sawit ini tentu saja akan menurunkan tingkat kualitas tanah
sebagai salah satu indikator dan pemegang peranan penting didalam ekosistem
apalagi dengan semua aspek fungsi ekologis yang dimilikinya. Juga akan terjadi
pendangkalan perairan pantai karena pengendapan sedimen yang sebelum hutan
mangrove dikonversi mengendap dihutan mangrove. Dengan begitu hutan mangrove
yang asalnya tempat pemijahan ikan dan udang secara alami akan beralih fungsi
dan bahkan tidak berfungsi lagi sebagai tempat pemijahan. Sebagaimana kita
ketahui bahwa lahan tersebut secara struktur akan berubah dan mungkin tercemar
oleh bahan-bahan kimia yang berasal dari pupuk pertanian untuk lahan kelapa
sawit. Sehingga dengan melihat tingkat degradasi dan konversi pada areal hutan
mangrove tersebut maka harus direncanakan suatu penelitian untuk mengetahui dan
mengkaji kualitas tanah sebagai akibat dari konversi mangrove yang telah
dilakukan. (Anonim, 2009)
Semua ini
pun akan berdampak pada segi ekonomis,
karena hutan mangrove pada study kasus ini terdapat 2 aliran besar yang
membelah mangrove seperti sungai untuk masuk dan keluarnya air pasang surut.
Biasanya sungai ini tempat memijah ikan-ikan dan para nelayan pun sering
menjaringnya untuk mendapat penghasilan. Tapi dengan adanya pengalihan/konversi
menjadi lahan sawit akan menurunkan hasil tangkapan para nelayan tersebut. Demikian juga pada tambak, hanya menguntungkan pada salah satu pihak.
Secara global juga akan berdampak
pada pemanasan global karena dengan adanya lahan hutan mangrove yang dikonversi
akan mengurangi dan merusak ekosistem hutan mangrove tersebut. Penyerapan
karbon pun akan berkurang sehingga membuat CO2 di bumi menumpuk dan adanya efek
rumah kaca sehingga mengakibatkan pola perubahan iklim dunia yang akan
merugikan kita semua.
Dari situ kita tahu bahwa dengan
adanya lahan konversi baik itu menjadi tambak atau pun lahan perkebunan kelapa
sawit. Ternyata akan merusak ekositem mangrove dan akan mengubah struktur kimia
fisika dan fungsi ekologisnya yaitu rantai makanan, rantai energy dan siklus
biogeokimianya. Seharusnya kita menyadari dan menyadarkan masyarakat akan
fungsi dan peranan masing-masing ekosistem karena untuk ke depannya alam ini
akan merugikan kita apabila kita merusaknya. Mungkin secara waktu dekat lahan
kelapa sawit akan menguntungkan tapi untuk jangka panjang dan dampak yang
ditimbulkan akan merugikan. Persepsi
yang menganggap mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang
hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain harus
diluruskan. Karena apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa
depan hutan mangrove Indonesia dan juga hutan mangrove dunia akan menjadi
sangat suram.
Agar rakyat Indonesia tetap mampu
menjadikan hutan mangrove sebagai sumber mata pencahariannya, maka perlu
pengelolaan secara berkelanjutan. Dasar yang dapat dijadikan pijakan adalah
karena pengelolaan SDA hutan mangrove mempunyai tujuan utama untuk menciptakan
ekosistem yang produktif dan berkelanjutan untuk menopang berbagai kebutuhan
pengelolaannya.
Peran aktif stake holder ini yang
sangat dibutuhkan serta dukungan masyarakat agar ekosistem mangrove ini tidak
beralih fungsi dan dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. Sudah seharusnya dari
dalam pemerintah dan masyarakat ini bersama-sama segera mendorong dan
memfasilitasi tersusunnya tata ruang wilayah pesisir, melakukan pembenahan dari
segala aspek dan dari hal yang kecil agar tidak ada lagi
penyimpangan-penyimpangan serta dapat merencanakan, mengurus, mengelola
dan merehabilitasi serta menjaga kelestarian alam ini. Agar menjadikan
kawasan hutan mangrove itu menjadi kawasan yang mampu melindungi dan
mensejahterakan masyarakatnya.
Referensi Bacaan:
Abdul
Hakim. 2010. Dampak Penerapan Kebijakan Konversi Hutan Pada Kerusakan
Lingkungan (Studi Kasus Pelepasan Kawasan Hutan untuk Perkebunan Kelapa Sawit).
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/16/15cb03ade6bb79a61339ce703ea92fbcfaedabd2.pdf.
Diakses pada tanggal 18 Maret 2010Agus Salim. 2010. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. http://www.scribd.com/doc/22477294/Konservasi-Mangrove-Sebagai-Pendukung-Sumber-Hayati-Perikanan-Pantai. Diakses pada tanggal 18 Maret 2010
Edy Purwanto. 2010. Mencermati Konversi Hutan
Alam Menjadi Kebun Kelapa Sawit.
http://epurwanto.wordpress.com/2008/04/21/mencermati-konversi-hutan-alam-menjadi-kebun-kelapa-sawit/.
Diakses pada tanggal 18 Maret 2010
Endang Hilmi&Parengrengi. 2010. Kerusakan
Ekosistem Mangrove di Indonesia.
http://www.scribd.com/doc/11592887/Kerusakan-Ekosistem-Mangrove-Di-Indonesia.
Diakses pada tanggal 18 Maret 2010
Supriharyono. 2008. Konservasi Ekosistem
Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar, Jakarta.
Anonim. 2009. Mangrove (http://www.blogger.com)
Anonim. 2009. Mengapa perambahan hutan mangrove
untuk dialihkan menjadi kebun sawit makin merajalela? (http://id.answers.yahoo.com)
Anonim. 2009. Penilaian Kualitas Tanah Akibat
Konversi Mangrove ke Tambak (http://arwansoil.blogspot.com)
Anonim. 2008. Ratusan Ha Hutan Mangrove Beralih
Fungsi Menjadi Tanaman Sawitdi Desa Sei Apung Asahan ( http://m.hariansib.com )
Anonim (Sri Devi). 2008. Ekologi, Pemanfaatan dan
Dampak Aktivitas Manusia terhadap Ekosistem Mangrove (http://www.analisadaily.com)
Anonim (Hakim Abdul). 2008. Lomba Tulis YPHL :
Menyoal Konversi Lahan Hutan di Indonesia (http://www.kompas.com)
Nontji, A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit
Djambatan.Jakarta.
Romimohtarto, K dan S. Juwana, 1999. Biologi
Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Puslitbang Osenologi-LIPI, Jakarta :
527 hal
Saparinto, Cahyo. 2007. Pendayagunaan Ekosistem
Mangrove. Dahara Prize, Semarang.
Setyawan, A. Susilowati, A, Sutarno. 2002.
Biodiversitas Genetik, Spesies dan Ekosistem Mangrove di Jawa. Petunjuk
Praktikum Biodiversitas; Studi Kasus Mangrove. Jurusan Biologi FMIPA UNS
Surakarta.